Bandung kembali melahirkan seorang pembatik. Tri Asayani (24), seorang pembatik muda asal Pekalongan yang tinggal di Kota Bandung ini menggelar karya- karyanya untuk pertama kali di Cafe Jerami, Babakan Siliwangi, Bandung, yang pembukaannya diselenggarakan pada hari Selasa (20/4) malam.
Asayani menghadirkan “pemberontakan” terhadap aliran batik tradisional yang diungkapkan lewat karya-karya batik kontemporer yang ditampilkannya. Motif-motif batik yang geometris serta pengaturan komposisi yang beragam dan tidak sesuai dengan pola-pola batik pada umumnya, menjadi ciri khas dari karya-karya Asyani. Media kain yang digunakan pun bukan lagi sebatas kain tetoron atau sutra, tetapi justru kain untuk handuk.
DENGAN menampilkan beragam kreasi karyanya, Asayani yang merupakan penerus dari seniman batik Hasanudin, mencoba mengekspresikan pemberontakannya terhadap kelaziman motif-motif batik pada umumnya.
Menurut Yani, begitu ia biasa disapa, yang menjadi inspirasi dari setiap karya-karyanya adalah elemen-elemen yang terdapat dalam batik itu sendiri. Peralatan membatik, seperti canting, malam (lilin yang dibakar untuk membatik-Red) juga dijadikan motif karya- karyanya.
Alasannya, menurut Yani, inspirasi dari batik tradisional hanya menjadi “jiwanya” dalam berkarya, sebab motif-motif tradisional sudah banyak ditampilkan.
“Yani ingin menampilkan karya Yani seperti ini. Lebih modern dan tidak seperti batik pada umumnya. Tetapi, Yani tetap menjalankan proses-proses yang harus dilalui dalam membatik, seperti pewarnaan, penggunaan lilin, pengasapan, dan sebagainya,” ujar alumnus FSRD ITB jurusan Kriya Tekstil tahun 2003 ini dengan bersemangat.
JIWA pemberontaknya itu betul-betul ia tampilkan lewat acara peragaan busana yang menggelar sebagian busana dan selendang rancangannya. Dengan diiringi musik yang iramanya menghentak-hentak, lebih dari sepuluh gadis muda yang mengenakan busana karya Yani, berlenggak-lenggok di atas panggung. Tata cahaya yang diatur sedemikian rupa membuat ruangan kafe yang terbuka itu mirip diskotek. Semuanya seperti menguatkan nuansa modern yang ingin ditampilkan Yani.
Mengenai langkahnya untuk lebih jauh berkarya dan eksis di dunia batik, Yani berujar, “Untuk saat ini, Yani ingin mempublikasikan karya-karya ini agar masyarakat Bandung mengenal bahwa Bandung pun punya batik.”
Upaya Yani ini, diakuinya, juga sebagai upaya untuk merintis jalan mematenkan karya-karyanya. Ketika ditanya apakah dia membuat paten dari karyanya ini, Yani mengaku bahwa di Indonesia masih sulit mengurus hak paten. “Prosesnya terlalu rumit dan biayanya pun enggak sedikit,” ujarnya.
Dalam pameran yang diberi tajuk “20042004″ ini, Yani menggelar tak kurang dari 55 buah karyanya yang berupa sarung, selendang, dan busana bergaya “muda” dan modern, di antaranya yang memadukan atasan backless dan sarung batik rancangannya. Sedangkan harga yang dipatok oleh Yani untuk rancangannya, yang dipamerkan, adalah berkisar antara Rp 1 juta sampai Rp 3 juta, yang target pasarnya adalah kaum ibu rumah tangga dan para remaja putri.
Acara yang digelar tanggal 20 hingga 24 April ini juga disertai workshop membatik dengan berbagai teknik, di antaranya batik canting, batik celup ikat, dan batik kuas.
Sumber : (*/oki) Kompas Cetak
Posted in Persona | No Comments »
Meraih Kembali Masa Kejayaan Batik Lasem
Thursday, April 22nd, 2004
“Sekarang jarang yang membuat batik lasem. Saya tinggal punya tiga potong. Itu pun kulakan (pembelian) lama.”
Khoiriyah (65), seorang pedagang pakaian di Pasar Lasem, Kabupaten Rembang (Jawa Tengah), menyampaikan hal itu sambil menunjukkan motif kawung dari sepotong kain batik lasem. Kain itu dia jual seharga Rp 65.000 per potong kepada pembeli. “Kain ini murah karena batikannya biasa. Tidak halus,” ujarnya.
Menurut perempuan yang dulu juga berprofesi sebagai pembatik ini, sekarang sudah jarang orang yang membatik kain di Lasem, sebuah kecamatan yang kaya dengan tradisi, khususnya tradisi Tionghoa, di Kabupaten Rembang. Pembatik kain batik lasem kebanyakan adalah keturunan Tionghoa dan sekarang mereka umumnya sudah tua.
Lasem, kota kecamatan di bagian timur Kabupaten Rembang, terletak kurang lebih 13 kilometer dari ibu kota kabupaten. Nama Lasem selama ini lebih dikenal dibandingkan ibu kota kabupatennya sendiri, Rembang. Sebagian besar bus dari luar daerah selalu transit di Terminal Lasem dan menempatkan Lasem sebagai jalur kendaraan, dan bukan Rembang. Misalnya, bus jalur Semarang-Lasem.
DI Lasem, konon lebih dari 200 tahun yang lalu, datanglah orang Tionghoa yang kemudian menghuni wilayah ini hingga keturunannya sekarang. Peninggalan pendatang Tionghoa itu masih terlihat jelas dari arsitektur bangunan rumah yang ada di daerah tersebut.
Di kota ini berderet bangunan tinggi besar yang kokoh. Dari luar tampak seperti bangunan biasa dengan tembok yang tinggi. Namun, ketika masuk ke dalamnya, terlihat sesuatu yang lain. Ukiran naga pada pintu-pintu besar, serta adanya altar tempat abu jenazah, memperlihatkan dengan jelas bahwa bangunan ini kental dengan nuansa Tionghoa yang disebut omah ombo karena besar dan luas. Misalnya saja rumah yang sekarang ditempati oleh Liem Gwat Nio (81) atau biasa dipanggil Oma Gwat yang terletak di Jalan Dasun, Lasem.
Menurut perempuan yang masih terlihat energik kalau berbicara ini, moyangnya adalah pelaut yang terdampar di Indonesia. Konon, mereka adalah pedagang candu yang kaya. Kisah masuknya etnis Tionghoa di daerah ini bahkan sempat diabadikan dalam film berjudul Ca Bau Kan karya Remy Silado. Orang ini juga yang kemudian memperkenalkan dan mengembangkan teknik batik tulis di Lasem, yang kemudian terkenal dengan batik lasem.
Menurut penuturan beberapa warga, dahulu batik lasem sangat terkenal. Jenis batik tulis, yaitu batik hasil lukisan tangan pada sepotong kain dengan menggunakan canting-alat lukis yang berfungsi sebagai pena-dan malam, jenis lilin yang berfungsi sebagai tinta untuk membatik, ini mempunyai nilai seni yang tinggi. Tak heran jika harga kain batik lasem mahal.
Nilai seni batik tulis lasem terletak pada motif dan kehalusannya dan bersifat relatif. Motif kain batik lasem bermacam-macam. Sedikitnya ada lima motif, yaitu tiga negeri, empat negeri, kawung, rawan, dan kendoro-kendiri.
Pembuatan batik dilakukan secara kumulatif, artinya masing-masing orang mengerjakan satu tahapan dalam jumlah banyak. Untuk menyelesaikan 100 potong kain batik tulis, dengan 20 tenaga kerja, waktu yang diperlukan sekitar dua bulan. Pembatikan itu melalui berbagai tahapan, mulai dari pembuatan pola (nglengkreng), menutup bagian yang tidak berpola (nembok), dan mewarnai (nerusi).
Tahap nerusi ini bisa mencapai tiga kali proses, bergantung pada berapa warna yang digunakan. Semakin banyak warna yang digunakan, semakin lama pula prosesnya.
“Per potong kain rata-rata dijual seharga Rp 150.000 hingga Rp 300.000. Ada juga yang lebih mahal, sampai Rp 1.000.000. Tetapi, hanya kain yang benar-benar istimewa, baik dari kehalusan batikan maupun motifnya,” ungkap Purnomo, pemilik perusahaan batik tulis Cap Kuda di Lasem.
Menurut Purnomo, karena harganya yang mahal ini pula, batik tulis lasem mulai tergusur oleh batik cap atau batik printing yang harganya jauh lebih murah. Dahulu, perusahaan ini selalu kehabisan persediaan. Sekarang penjualan hanya rata-rata sekitar 20 potong setiap bulan.
“Sejak munculnya batik printing di era 1990-an, kondisi batik tulis lasem menjadi lesu,” lanjut pria ini di tokonya yang berisi sekitar 300 potong kain batik. Keadaan ini lebih diperparah oleh krisis moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Penjualan batik tulis menjadi sangat merosot dan akibatnya banyak perusahaan batik tulis yang terpaksa tutup.
Dari sekitar 100 perusahaan batik tulis yang dulu ada di daerah ini, sekarang yang masih bertahan kurang dari 10 perusahaan. Salah satunya adalah milik Purnomo di Gedungmulyo, Lasem. “Boleh dibilang, kejayaan batik lasem sekarang tinggal 25 persen,” lanjut Purnomo.
Selain karena faktor harga, kemunduran batik tulis lasem juga disebabkan oleh kehilangan generasi yang menekuni profesi ini. Umumnya angkatan muda dari Lasem lebih memilih merantau daripada mempertahankan tradisi membatik.
Purnomo, ayah tiga anak, mengakui, hingga sekarang tidak mempunyai penerus tradisi sehingga ia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan usahanya kelak.
AKIBAT lesunya industri batik tulis ini, banyak pekerja yang umumnya adalah warga pribumi beralih ke sektor lain, seperti pertanian dan perikanan. Ada juga yang berusaha membuat industri batik tulis kecil-kecilan, yang kemudian dijual sendiri di pasar. Tentu dengan harga lebih murah.
Menghadapi kenyataan ini, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Rembang berencana untuk mengangkat kembali batik tulis lasem. “Dalam jangka panjang kami berupaya agar batik lasem kembali terkenal dan jaya seperti dulu,” ungkap Bupati Rembang Hendarsono.
Upaya yang ditempuh Pemkab Rembang adalah dengan mempromosikan batik tulis lasem ke dunia luar. Untuk mengurangi tingkat kemahalan batik tulis, upaya yang ditempuh adalah membuat produk pakaian dengan kombinasi batik tulis lasem dan kain biasa.
“Kami bekerja sama dengan desainer dari Kota Solo dan Rembang untuk membuat model pakaian casual dengan kombinasi kedua kain tersebut. Ini bisa membuat harga batik lasem lebih murah dan digemari masyarakat,” lanjut Hendarsono.
Upaya ini mulai ditempuh sejak dua bulan lalu. Promosi terutama dilakukan di Jakarta dengan memanfaatkan media elektronik televisi swasta. Menurut Hendarsono, langkah ini memang masih awal, tetapi nantinya diharapkan akan memberi hasil yang baik.
Ia berharap batik lasem bisa meraih kejayaannya kembali. Bukan hanya dipakai dan digemari banyak orang, tetapi juga bisa menghidupi banyak orang. Batik lasem diharapkan bisa kembali menjadi “lokomotif” perekonomian Rembang.
Sumber : (Siwi Nurbiajanti) Kompas Cetak
Posted in Pasar Batik | No Comments »
Presiden Upayakan Perlindungan Pajak Bagi Perajin Tradisional
Wednesday, April 21st, 2004
Presiden Megawati Soekarnoputri ingin mengupayakan adanya perlindungan pajak bagi perajin tradisional yang menghasilkan produk-produk unik dari Indonesia. Hal ini diungkapkan Presiden saat menanggapi keluhan dari salah satu perajin batik tulis Pamekasan yang menjadi peserta dalam Pameran Kerajinan Tangan Internasional VI (Inacraft 2004) saat membuka acara tersebut di JHCC, Jakarta, Rabu (21/4).
Tidak seperti biasanya, dalam acara pembukaan ini, Presiden membuka kesempatan bagi sekitar 5 perajin untuk menyampaikan pertanyaan serta keluhan. Tanggapan Presiden mengenai perlindungan pajak ini merupakan jawaban terhadap keluhan perajin batik tulis yang mendapat perlakuan yang sama dalam pajak dengan produk batik cap dan batik cetak.
Sementara batik tulis membutuhkan proses pembuatan yang jauh lebih rumit dan memakan waktu lebih lama dibanding jenis batik yang lain. “Apa yang ibu sampaikan, itu juga menjadi perhatian khususnya untuk produk-produk spesial. Saya ingin ada perlindungan untuk hal ini,” kata Megawati.
Untuk merealisasikan hal ini, Megawati mengaku akan melakukan pembicaraan dengan Menteri Keuangan Boediono guna memberikan keringanan pajak terhadap perajin Indonesia.
Sementara berkaitan dengan bahan dasar kayu yang digunakan sejumlah perajin, Presiden mengakui masih terjadinya penyelundupan besar-besaran ke luar Indonesia. Hal ini pula yang menjadi perhatian dari pemerintah khususnya dalam program moratorium kehutanan agar tidak terjadi eksploitasi seperti yang ada di masa lalu.
Di samping itu, Presiden Megawati minta para perajin tidak menggunakan kayu selundupan serta meningkatkan kualitas produk agar dapat bersaing di pasar internasional. Para perajin juga harus peka membedakan pasar yang akan dimasukinya dengan menyesuaikan produk mereka.
Dalam acara ini, Presiden didampingi Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) Rini MS Soewandi serta Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso. Pameran yang berlangsung hari ini sampai Minggu (25/4) itu diikuti 1.000 perusahaan, terdiri dari 500 pembeli dari 100 negara dengan kontrak dagang mencapai 2,3 juta dollar AS dan penjualan ritel mencapai Rp20 juta.
Berbagai produk yang dipamerkan diantaranya batik tulis, dekorasi rumah, kerajinan emas dan perak, kerajinan kayu, kerajinan kulit, pertamanan, produk-produk kaca, keramik dan lain-lain.
Sumber : (ima & Glori K. Wadrianto) KCM, Jakarta
Posted in HaKI, Serba Serbi | No Comments »
Batik Pekalongan Terancam Punah
Saturday, April 17th, 2004
Pengrajin Batik PekalonganSejak tiga bulan terakhir, ratusan perajin batik di Pekalongan, Jawa Tengah, bangkrut akibat kesulitan memasarkan produksinya. Untuk bisa bertahan, baru-baru ini, seorang pengrajin setempat bernama Rusdianto memilih mengembangkan batik jenis natural. Walau begitu, ia mengaku harus mengeluarkan dana lebih untuk mengkombinasikan serat tumbuhan dan sutra. Jenis batik ini banyak disukai oleh kalangan menengah ke atas. Maklum, harga per kain berkisar antara empat hingga enam juta rupiah.
Menurut Rusdianto, serat tumbuhan yang biasa digunakan adalah serat nanas dan batang pohon pisang. Namun yang menjadi kendala adalah proses pembuatan batik natural yang sangat rumit dan lama. Untuk menyelesaikan satu kain saja, tiap orang memerlukan waktu sedikitnya satu bulan. Berbeda dengan pembuatan batik biasa yang dapat diselesaikan dalam satu hari.
Rusdianto mewakili rekannya berharap pemerintah segera turun tangan membantu masalah pemasaran. Ia mengaku selama ini pemasaran batik Pekalongan hanya kepada pelanggan saja. Ia khawatir jika pemerintah masih berpangku tangan, julukan Pekalongan sebagai Kota Batik hanya tinggal kenangan.
Sejauh ini pengusaha batik yang gulung tikar adalah para perajin massal yang banyak dicontek daerah lain, seperti Tegal dan Cirebon. Produksi batik massal ini kian hari memang makin berkurang akibat sepinya orderan. Batik jenis ini biasanya dikirim ke Pasar Tanahabang, Jakarta, Makassar, Sulawesi Selatan, dan Sumatra.
Salah satu pemicu kebangkrutan perajin batik jenis massal adalah kebakaran Pasar Tanahabang, awal tahun silam [baca: Pasar Batik Pekalongan Lesu Akibat Kebakaran Tanahabang]. Musibah yang menimpa pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara itu juga membuat banyak orang kehilangan mata pencaharian. Saat itu sejumlah pengusaha batik menutup usaha mereka karena merugi. Sebagian lagi ada yang mengurangi jam kerja bagi seratus hingga 150 karyawannya.
Sumber : (YAN/Sugihartono dan Budi Harto) Liputan6.com, Pekalongan
Posted in Batik Indonesia | No Comments »
Pameran Busana Batik Tulis Tegalan
Saturday, April 17th, 2004
Sebagai rangkaian HUT Ke-424 Pemkot Tegal kemarin digelar pameran batik tulis khas Tegal di Aula Adipura Pemkot. Kepala Bagian Perekonomian Diah Kemala Sinta SE mengatakan, selain pameran busana batik tulis juga diadakan peragaan busana dengan peserta pegawai Pemkot Tegal. ”Kegiatan ini bertujuan memasyarakatkan batik khas Tegal yang diproduksi para perajin batik asal Kelurahan Kalinyamat Wetan. Semoga, batik lokal lebih memasyarakat,” ujarnya.
Sumber : (G12-14e) Suara Merdeka, Tegal
Posted in Kegiatan | No Comments »
Industri Batik Pekalongan Masih Lesu
Thursday, April 15th, 2004
* Sejumlah Pengusaha Mulai Liburkan Pekerja
Industri batik Pekalongan masih mengalami kelesuan. Penjualan batik Pekalongan yang turun sejak awal tahun ini terus berlanjut hingga sekarang. Akibatnya, sejumlah pengusaha batik mengalami kesulitan keuangan sehingga terpaksa menutup usaha mereka untuk sementara waktu.
Pengusaha batik Pekalongan, Rusdiyanto, Rabu (14/4), di tempat usahanya di Kelurahan Setono, Kecamatan Pekalongan Timur, Kota Pekalongan, Jawa Tengah, mengatakan, dari sekitar 100 unit usaha batik di Kelurahan Buaran, Kecamatan Pekalongan Selatan, 25 persen di antaranya sudah tutup.
“Order sangat sepi sehingga mereka terpaksa menutup usaha dan meliburkan pekerja. Jumlah unit usaha batik yang masih beroperasi semakin sedikit,” kata Rusdiyanto.
Adapun jumlah pekerja di setiap unit usaha, menurut dia, sangat bervariasi. Ada yang hanya sekitar 10 orang dan ada pula yang mencapai lebih dari 30 orang.
Rusdiyanto pun mengungkapkan, usaha batiknya mengalami penurunan omzet hingga 50 persen. Saat kondisi masih normal, unit usaha miliknya bisa menjual setidaknya 30 kodi kain batik per bulan. “Sekarang omzet saya anjlok menjadi hanya 15 kodi per bulan,” paparnya.
Sejak awal 2004
Direktur Pasar Grosir Batik Setono, Hasanuddin, mengungkapkan, kelesuan melanda industri batik Pekalongan sejak awal tahun 2004. “Produksi batik Pekalongan sekarang bisa dikatakan sudah macet. Pesanan batik dari luar Kota Pekalongan sebagian besar berhenti,” katanya.
Hasanuddin menduga lesunya industri batik Pekalongan bukan semata-mata disebabkan oleh penyelenggaraan Pemilu 2004, tetapi juga disebabkan menurunnya daya beli.
“Hal ini dikarenakan tanda- tanda menurunnya order batik sudah terlihat sejak beberapa bulan sebelum masa kampanye dimulai,” ujarnya.
Parahnya kelesuan yang melanda industri batik Pekalongan, menurut Hasanuddin, ditunjukkan antara lain dengan mulai meningkatnya jumlah penyewa kios di Pasar Grosir Setono yang membayar ongkos sewa dengan menggunakan cek kosong. Hal semacam ini hampir tidak pernah ditemui pada masa-masa sebelumnya.
“Padahal, mereka tergolong pengusaha besar dan jumlah pembayaran termasuk kecil, yakni hanya Rp 1 juta-Rp 2 juta. Meski demikian, setelah ditagih kembali, mereka bersedia melunasi,” papar Hasanuddin.
Lesunya permintaan batik Pekalongan dari kota-kota lain, seperti Makassar, Medan, dan Jakarta, menurut Hasanuddin, ditunjukkan dengan meningkatnya minat pengusaha batik Pekalongan untuk menyewa kios di Pasar Grosir Setono. Akibatnya, harga sewa kios yang semula hanya Rp 4 juta per dua tahun melonjak menjadi Rp 100 juta per dua tahun.
“Mereka umumnya adalah pengusaha yang berfokus pada penjualan batik ke luar kota. Akibat permintaan batik Pekalongan secara nasional lesu, mereka kini berlomba memasarkan produk di Kota Pekalongan,” kata Hasanuddin.
Sumber : (ATO) Kompas Cetak, Pekalongan
Posted in Pasar Batik | No Comments »
Batik Tulis Sragen Akan Jadi Seragam Kadin
Wednesday, April 14th, 2004
Ini kabar gembira bagi perajin batik tulis di Sragen. Sebab, pengurus Kadin se-Indonesia akan memesan batik tulis asal daerah itu sebagai pakaian seragam.
Pengurus Kadin Pusat akan membuat seragam organisasi dengan bahan batik dari perajin di Kecamatan Masaran dan Plupuh. ”Kami tertarik memakai batik asal Sragen,” ujar Rachmad Gobel Koordinator Kadin Pusat, yang berkunjung ke daerah itu, Senin (12/4) lalu.
Rombongan diterima Bupati H Untung Wiyono, didampingi Kepala Badan Pendidikan & Latihan Diklat dan Penelitian & Pengembangan Achmadi Sri Hartono, Kepala Dinas Industri, Perdagangan, Koperasi, dan Penanaman Modal Musdiman SE MM, Kepala Dinas Tenaga Kerja Dra Endang Lestari MM, serta Kepala Bagian Perekonomian Ir Djoko Purwanto.
Rachmad Gobel menyatakan itu merupakan rangkaian peninjauan ke sejumlah sentra industri kecil di Jateng. Yakni, industri mebel di Sukoharjo, cor logam di Batur, Kecamatan Ceper, Klaten, Apacinti di Bawen, serta Akademi Teknik Mesin Industri (ATMI) Surakarta.
Pengurus Kadin didampingi Bupati H Untung meninjau pusat latihan menjahit yang diarahkan untuk memproduksi garmen. Tahun 2004 akan dicetak 600 ahli produk garmen. Pada tahun 2005 ditingkatkan menjadi 1.200 orang dan tahun 2006 menjadi 1.800 orang.
Kerja Sama
Sebagian tenaga terampil hasil pelatihan diberi kesempatan lanjutan di Satellite Workshop Dukuh Tawang, Kelurahan Sine, Sragen.
Bupati mengemukakan kerajinan batik tulis memiliki pangsa pasar cukup bagus. Namun batik itu dipasarkan dengan merek batik terkenal di Solo.
Hasil kerajinan itu dibeli dari perajin dengan murah. Namun setelah diberi label dijual pengusaha dengan harga tinggi.
Sumber : (nin-49g) Suara Merdeka, Sragen
Posted in Serba Serbi | 2 Comments »
50 Motif Batik Indramayu Miliki Hak Cipta
Sunday, April 4th, 2004
Gebrakan baru kembali dilakukan Pemerintah Kabupaten (pemkab) Indramayu dengan mendaftarkan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) atau hak cipta motif batik Indramayu.
Langkah ini merupakan terobosan baru dan bisa dibilang merupakan yang pertama terjadi di Indonesia. Pasalnya, motif batik tradisional Indonesia yang tidak diketahui lagi penciptanya dan sudah menjadi milik masyarakat (public domain) didaftarkan ke Ditjen HaKI Departemen Kehakiman guna mendapatkan perlindungan hukum.
Penyerahan Sertifikat HaKI 50 motif batik Indramayu disampaikan oleh Dirjen Industri dan Dagang Kecil Menengah (IDKM) pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Zaenal Arifin, kepada Bupati Indramayu H Irianto MS Syafiuddin, kemarin.
Zaenal Arifin kepada Republika mengatakan, pendaftaran hak cipta 50 motif batik Indramayu memang sangat diperlukan dalam rangka melindungi motif batik Indramayu dari kemungkinan peniruan dan pembajakan dari pihak lain yang merugikan.
“Selain melindungi dari kemungkinan pembajakan, pendaftaran hak cipta ini juga akan memberikan manfaat ekonomi,” katanya menjelaskan.
Dengan terdaftarnya ke-50 motif tersebut, kata Zaenal, pemkab dan masyarakat Indramayu dapat memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakan motif batik Indramayu. Imbalan atas izin ini, kata dia, berupa fee sesuai kesepakatan. “Penghasilan dari fee ini sudah tentu bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat Indramayu,” katanya.
Sementara Bupati Indramayu, H Irianto MS Syafiuddin, mengatakan, pendaftaran hak cipta terhadap motif batik Indramayu ini merupakan upaya melindungi budaya serta hasil kreativitas masyarakat Indramayu. Di samping itu, katanya menambahkan, hal tersebut juga diharapkan bisa memberikan dampak di bidang ekonomi berupa meningkatnya kesejahteraan rakyat.
“Percuma saja kita memiliki kekayaan berupa kerajinan batik kalau ternyata tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan pendaftaran hak cipta inilah diharapkan akan bisa memberikan banyak manfaat,” kata Irianto menandaskan.
Motif batik yang mendapatkan perlindungan hak cipta di antara motif wadasan, iwak ketong, parang rusak, dan jenis lainnya.
No comments:
Post a Comment